RSS

Ji Gong

Konon kabarnya hidup sekitar tahun 1130 – 1209. Terlepas dari masalah apakah benar Chi Kung pernah lahir atau tidak, banyak hal yang dapat kita pelajari dari sejarah / legenda / cerita2 perjalanan hidup Chi Kung. Seperti umumnya suatu cerita / sejarah di China, ada beberapa versi sejarah tentang Chi Kung. Aliran Mahayana mengakui Chi Kung adalah titisan dari Dewa Lohan Naga (Xiang Long), dimana hal ini berbeda dengan aliran Maitreya yang mengakui bahwa Chi Kung adalah titisan dari Maitreya.


Ji Gong ataupun chikung dilahirkan dengan nama Li Xiuyuan yang merupakan anak dari Li Maochun. Li Maochun adalah seorang penasehat militer yang sangat dermawan. Hanya saja sejak menikah sampai mencapai usia setengah baya, Li Maochun belum dikaruniai seorang anak. Hal itu membuat para kenalan Li Maochun meragukan kebaikan hatinya. Istri dari Li Maochun adalah seorang yang baik hati dan taat dengan ajaran agama, menyarankan agar Li Maochun untuk menikah lagi. Tapi Li Maochun menolaknya karena merasa istrinya masih muda dan bisa memberikan keturunan. Karena ingin dikaruniai anak, maka suami istri ini merencanakan berangkat ke suatu vihara agar dikaruniai seorang anak. Bahkan sebelum berangkat sang istri sempat cia cai (vegetarian). Pada saat berdoa di ruang Lohan di vihara tersebut, salah satu patung lohan yang ada seakan2 turun ke lantai. Saat melihat hal tersebut kepala vihara menyampaikan selamat kepada Li Maochun karena akan di karuniai anak.

Tak lama kemudian Li Maochun dikaruniai anak laki2 yang diberi nama Li Xiuyuan. Tak lama Li Xiuyuan lahir, Li Maochun meninggal. Sejak saat itu Li Xiuyuan diasuh oleh ibunya yang tetap setia kepada Li Maochun. Saking setianya ibu Li Xiuyuan, mencatat segala sesuatu yang dikerjakannya setiap hari dan membakarnya agar suaminya (Li Maochun) tahu apa saja yang dia kerjakan. Li Xiuyuan tumbuh menjadi anak yang pintar, bahkan sangat pintar. Saat berusia 7 tahun, Li Xiuyuan sudah dapat menghapal kitab suci dan bahkan mengalahkan teman belajarnya yang lebih tua. Saat berusia 15 tahun , ibunya meninggal dunia. Saat itu Li Xiuyuan yang sangat sedih makin giat belajar agama Buddha. Paman dari Li Xiuyuan merasa khawatir karena Li Xiuyuan selalu membaca kitab suci agama Buddha. Setelah beberapa lama, saat itu sang paman merasa Li Xiuyuan sudah cukup umur untuk menikah, maka hal ini dibicarakan dengan Li Xiuyuan. Li Xiuyuan menolaknya, tapi sang paman tetap mendesak dan akhirnya memilihkan jodoh untuknya. Saat akan menikah, Li Xiuyuan pergi dari rumah karena ingin mempelajari agama Buddha lebih mendalam dan menjadi Bhikkhu.

Setelah berjalan jauh, tibalah Li Xiuyuan di vihara Ling Yin. Setelah menceritakan kepada Bhikkhu Kepala maksudnya untuk menjadi seorang Bhikkhu, Li Xiuyuan jatuh pingsan karena kelaparan. Bhikkhu kepala yang mengetahui jati diri Li Xiuyuan adalah titisan Lohan Penakluk Naga bertubuh emas , maka sang Bhikkhu kepala mengetok dahi Li Xiuyuan sebanyak tiga kali. Li Xiuyuan tiba2 sadar dan mengetahui siapa dirinya. Oleh Bhikkhu kepala, Li Xiuyuan diberi nama Bhikkhu (bukan Ji Gong / Chi Kung)

Setelah menjadi Bhikkhu, Li Xiuyuan sering menganggu bhikkhu lain yang kurang melatih diri. Sering kali Li Xiuyuan mencuri jubah bhikkhu yang kurang taat dan mengadaikannya untuk membeli arak atau daging. wakil Bhikkhu kepala yang gila hormat juga jadi salah satu korbannya, dimana jubah dari Wakil Bhikkhu kepala ini digadaikan oleh Li Xiuyuan. Sang wakil sempat mengadukannya kepada Bhikkhu kepala, tapi Bhikkhu kepala mengabaikan laporan tersebut dan meminta buktinya. Oleh karena itu, Wakil Bhikkhu Kepala itu menyuruh 2 orang bhikkhu untuk mengawasi Li Xiuyuan untuk menangkap basah perbuatan Li Xiuyuan. Suatu siang, Li Xiuyuan memasuki perpustakaan untuk tidur, saat akan tidur, tiba2 Li Xiuyuan bangun dan melakukan sesuatu sehingga perutnya menjadi gendut. Melihat hal ini, salah seorang dari bhikkhu pengawas memberitahu wakil kepala, yang kemudian mengajak Bhikkhu kepala untuk menangkap basah Li Xiuyuan. Saat itu sang Bhikkhu kepala merasa menyesal atas tindakan Li Xiuyuan karena beliau tidak bisa lagi melindunginya. Tibalah sang Bhikkhu kepala dan wakilnya serta para bhikkhu pengawas Li Xiuyuan di ruang perpustakaan. Sang Bikkhu kepala membangunkan Li Xiuyuan dan bertanya apakah Li Xiuyuan mencuri sesuatu. Li Xiuyuan menjawab dia tidak mencuri sesuatu. Sang wakil yang sudah merasa tidak suka, langsung menuduh dengan mengatakan apa yang ada di balik jubahnya. Kemudian Li Xiuyuan menjawab bukan apa2 dan membuka jubahnya, alhasil bukannya barang curian yang keluar melainkan debu dan sampah2. Pada saat itu Li Xiuyuan berkata, “saat ingin tidur, saya melihat ruangan ini sangat kotor, jadi saya membersihkannya”. Tapi karena tidak ada tempat sampah untuk sementara debu dan sampah2 tersebut dimasukkan kedalam jubahnya. Saat itu Bhikkhu kepala sangat senang dan malah menegur sang wakil untuk lebih bijaksana dan menyuruh Bhikkhu lain untuk membersihkan debu dan sampah tersebut. Setelah kejadian ini Li Xiuyuan lebih sering berada di luar vihara dan lebih dikenal sebagai Ji Gong.


Karena sering berkelana menolong orang, dan orang2 yang ditolongnya semakin banyak, akhirnya Chi Kung mendapat julukan Chi Kung Hok Hud yang berarti Buddha Hidup Chi Kung.Chi Kung sendiri tidak pernah menyatakan bahwa dia telah mencapai tingkat Buddha, dan Gelar Buddha itu diberikan karena dia penuh cinta kasih dan suka menolong tanpa pandang bulu.  

27 Nasihat Suci Buddha Chi Kung
  1. Seluruh kehidupan telah diatur oleh penguasa. Apalah yang mau dimohon?
  2. Hari ini tidak tahu masalah esok. Apalah yang mau di kuatirkan?
  3. Kalaulah tidak menghormati orang tua, lalu mengormati junjungan dunia. Apalah arti penghormatan itu?
  4. Kakak adik adalah bersaudara. Apalah yang perlu diperebutkan?
  5. Anak cucu punya rezeki masing-masing. Apalah yang perlu diperebutkan?
  6. Kalau belum mendapat keberuntungan. Apalah yang perlu dipaksakan?
  7. Didunia ini sulit menemukan kebahagiaan. Mengapa harus sedih?
  8. Berpakaianlah yang sederhana dan sopan. Apalah yang mau dipamerkan?
  9. Bagaimana lezatnya makanan, hanyalah sebatas lidah. Mengapa harus rakus?
  10. Setelah meninggal tidak sesen pun yang dibawa. Mengapa harus pelit?
  11. Senior meluku, junior memetik. Apalah yang mau diperebutkan?
  12. Disatu sisi mendapatkan, disisi lain kehilangan. Mengapa harus serakah?
  13. Tiga jengkal diatas kepala ada dewa. Mengapa harus mengelabui?
  14. Kedudukan, kekayaan, kemuliaan bagaikan mekarnya bunga. Apalah yang mau diangkuhkan?
  15. Kekayaan dan kemuliaan orang telah dirintis sebelumnya. Mengapa harus iri?
  16. Kehidupan lalu tidak membina, sekarang menderita. Mengapa harus mengeluh?
  17. Orang berjudi tidak akan ada hasil yang baik. Apalah yang mau dipermainkan?
  18. Membina rumah tangga dengan rajin dan hemat melebihi memohon bantuan orang lain. Apalah yang mau diboroskan?
  19. Kalau saling membalas dendam, kapanlah akan berakhir. Mengapa harus bermusuhan?
  20. Masalah dunia bagaikan bermain catur. Apalah yang mau diperhitungkan?
  21. Orang pintar adakalanya disesatkan oleh kepintarannya? Mengapa harus licik?
  22. Berdusta akan mengikis habis rejeki seumur hidup. Mengapa harus berdusta?
  23. Segala kesalahpahaman akhirnya akan jernih juga. Apalah yang mau diperdebatkan?
  24. Tiada seorangpun juga yang bebas dari masalah. Mengapa harus menyalahkan?
  25. Goa nurani didalam hati manusia, bukan digunung. Apalah yang mau dicari?
  26. Menipu orang adalah petaka, memaklumi orang adalah berkah. Apalah yang mau diramalkan?
  27. Sekali ajal menjemput segala akan berakhir. Apalah yang terus disibukkan?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Xuan Tian Shang Di


Xuan Tian Shang di (Hian Thian Siang Te – Hokkian ) adalah salah satu dewa yang paling popular, wilayah pemujaannya sangat luas, dari Tiongkok Utara sampai Selatan, Taiwan, Malaysia dan Indonesia. Orang biasanya menyebutnya sebagai sebagai Shang Di Gong (Siang Te Kong – Hokkian ).

Kedudukannya dalam kalangan malaikat tinggi sekali, setingkat di bawah Yu Huang Da Di, dan merupakan salah satu dari Si Tian Shang Di atau Empat Maha Raja Langit. Si Tian Shang Di terdiri dari Qing Tian Shang Di di Timur, Yan Tian Shang Di di Selatan, Bai Tian Shang Di di Barat dan Xuan Tian Shang Di di Utara. 

Beliau mempuyai wewenang di langit bagian utara dan menjadi pemimpin tertinggi para malaikat di kawasan itu. Sebab itu patungnya selalu dilukiskan dengan mengijak kura-kura dan ular. Xuan Wu adalah dewa yang berkedudukan di wilayah utara dan dilambangkan sebagai ular dan kura-kura. 

Xuan Tian Shang Di yang disebut juga Zhen Wu Da Di (Cin Bu Tay Tee – Hokkian) adalah Xuan Wu. Lalu pada jaman dinasti Song secara resmi huruf Xuan diganti Zhen, dan sebutan Xuan Wu diganti Zhen Wu Da Di. Di sebelah kanan dan kiri Xuan Tian biasanya terdapat dua orang pengawal yaitu jendral Kang dan jendral Zhao.

Pemujaan terhadap Xuan Tian Shang Di mulai berkembang pada masa dinasti Ming. Dikisahkan pada masa permulaan pergerakannya Zhu Yuan Zhang (pendiri dinasti Ming), dalam suatu pertempuran pernah mengalami kekalahan besar, sehingga ia terpaksa bersembunyi di pegunungan Wu Dang Shan (Bu Tong San – Hokkian), di propinsi Hu Bei, dalam sebeluah kelenteng Shang Di Miao. 

Berkat perlindungan Shang Di Gong (sebutan populer Xuan Tian Shang Di), Zhu Yuan Zhang dapat terhindar dari kejaran pasukan mongol, yang mengadakan operasi penumpasan besar-besaran terhadap sisa-sisa pasukannya. 

Kemudian berkat bantuan Xuan Tian Shang Di, maka Zhu Yuan Zhang berhasil mengusir penjajah Mongol dan menumbangkan dinasti Yuan. Ia mendirikan dinasti Ming, setelah mengalahkan saingan-saingannya dalma mempersatukan Tiongkok. Untuk mengenang jasa-jasa Xuan Tian Shang Di dan berterima kasih atas perlindungannya, ia lalu mendirikan kelenteng pemujaan di ibu kota Nanjing (Nanking) dan di gunung Wu Dang Shan. Sejak itu Wu Dang Shan menjadi tempat suci bagi para penganut Taoisme. Kelentengnya, dengan patuang Xuan Tian dari tembaga, bisa dilihat sampai sekarang. 

Disamping itu Shang Di Gong juga diangkat sebagai Dewa Pelindung Negara. Tiap tahun tanggal 3 bulan 3 Imlik ditetapkan sebagai hari She-jietnya dan tanggal 9 bulan 9 Imlik adalah hari beliau mencapai kesempurnaan dan diadakan upacara sembahyangan besar-besaran pada hari-hai itu. Sejak itulah pemujaan Shang Di Gong meluas ke seluruh negeri, dan hampir disetiap kota besar ada kelenteng yang memujanya.

Di Taiwan pada masa Zheng Cheng Gong berkuasa, banyak kelenteng Shang Di Gong didirikan. Tujuannya adalah untuk menambah wibawa pemerintah, dan menjadi pusat pemujaan bersama rakyat dan tentara. Oleh sebab itu, maka kelenteng Shang Di Miao tersebar di berbagai tempat. Diantaranya yang terbesar adalah di Tainan yang dibangun pada waktu Belanda berkuasa di Taiwan.

Setelah jatuhnya Zheng Cheng Gong, dinasti Qing dari Manzhu yang berkuasa, mendiskreditkan Shang Di Gong dengan mengatakan bahwa beliau sebetulnya adalah seorang jagal yang telah bertobat. Usaha ini mempunyai tujuan politik yaitu melenyapkan dan mengkikis habis sisa-sisa pengikut dinasti Ming secara moral, dengan memanfaatkan dongeng aliran Buddha tentang seorang jagal yang telah bertobat lalu membela perut sendiri, membuang seluruh isinya dan menjadi pengikut Buddha.

Kura- kura dan ular yang diinjak itu dikatakan sebagai usus dan jerohan si jagal. Oleh sebab itu makan tingkatannya diturunkan menjadi Malaikat pelindung Penjagalan. Pembangunan kelenteng-kelenteng Shang Di Miao, sejak itu menjadi sangat berkurang. Pada masa dinasti Qing ini pembangunan kelenteng Shang Di Miao hanya satu, yaitu Lao Gu She Miao di Tainan. 

Tapi sebetulnya kaisar-kaisar Manzhu sangat menghormati Xuan Tiang Shang Di, terbukti dengan dibangunya keleteng pemujaan khusus untuk Shang Di Gong di komplek kota terlarang, yaitu Istana Kekaisaran di Beijing yang dinamakan Qin An Tian dan satu lagi di Istana Persinggahan di Chengde.

Mengenai riwayat Xuan Tian Shang Di ini, seorang pengarang yang hidup pada akhir dinasti Ming, Yu Xiang Tou telah menulis sebuah novel yang bersifat dongen yang berjudul “Bei You Ji” atau “Catatan Pejalanan Ke Utara”. Novel ini sekarang telah diterjemahkan dalam bahasa Indoensia dengan judul dalam lafal Hokkian, Pak Yu Ki, dalam bentuk cerita bergambar oleh penerbit Zambhala dari yayasan Tridrama Jakarta.

Adapun ringkasan riwayat Zhen Wu atau Xuan Tian Shang Di seperti yang dikisahkan dalam novel tersebut adalah sebagai berikut :

Dikisahkan Yu Huang Da Di (Giok Hong Tay Tee – Hokkian) telah menyatakan keinginnya untuk turun ke dunia, maka satu diantara ketiga rohnya lalu lahir sebagai manusia pada keluarga Liu (bandingkan dengan kepercayaan Kristen tentang Trinitas). Ayahnya Liu Tian Jun, kemudian memberi nama Zhang Sheng yang berarti “Tumbuh Subur”. Liu Zhang Sheng tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas. Pada usia tiga tahun ia sudah dapat membawakan sanjak dan membuat syair.

Di taman keluarga Liu (Law – Hokkian) itu terdapat pohon yang besar dan tinggi serta memancarkan cahaya yang berkilauan. Ternyata disitu bersemayam Duo BAo Fo (To Po Hud – Hokkian) atau Buddha Praburatna Tathagata. 

Sang Buddha melihat Liu Zhang Sheng begitu tekun bersembahyang di bawah pohon itu, begitu tulus memujanya, sehingga ia merasa kasihan dan meninggalkan pohon itu. Sepeninggal Duo Bao Fo maka pohon itu menjadi kering dan cahayanya lenyap. Liu Zhang Sheng sangat masygul melihat pohon kesayangannya layu. 

Duo Bao Fo lalu muncul dihadapannya dan menjelaskan mengapa pohon itu bersinar berkilau-kilauan tapi sekarang layu. Zhang Sheng menyatakan ingin ikut sang Buddha pergi ke istana langit. Sang Buddha menyanggupi, tapi orang tuanya tidak mengijinkan. Liu Zhang Sheng memaksa. Diantara ratap tangis orang tuanya, dia ikut Duo Bao Fo terbang kelangit. 

Oleh sang Buddha dia diantar ke San Qing Tian (Sam Tjeng Tian – Hokkian yang berarti istana tiga kesucian) tempat kediaman Miao le Tian-zun seorang tokoh agama Dao(Tao). Setelah mengetahui keinginan Liu Zhang Sheng yaitu ingin menjadi Dewa, Miao Le mengatakan bahwa untuk menjadi dewa, ia harus lahir di dunia kembali, untuk bertapa dan mengalami berbagai kesukaran dan cobaan, serta tahan menderita. Lalu Miao Le menambahkan “sebagai manusia kau harus menghilangkan pikirang yang bukan-bukan, kalau ingin berhasil. Sekali berbuat kesalahan, kau akan gagal”.

Kembali Liu Zhang SHeng menitis ke dunia, kali ini menjadi seorang putra raja yang bernama Xuan Ming. Karena kegagahannya Xuan Ming akhirnya diangkat menggantikan ayahnya yang wafat dan menjadi raja di negeri itu. 

Pada suatu hari Miao Le Tian Zun dating dan mendidiknya memahami masalah kedewaan. Di bawah asuhan Miao Le, ia lalu meninggalkan segala kemewahan dunia sebagai raja dan mengikuti Miao Le pergi ke gunung untuk bertapa. Di gung Feng Lai Shan (Hong Lay San – Hokkian) mereka mendirikan gubuk dan tinggal disana sambil mempelajari kitab-kitab suci dan ajaran-ajaran Dao.

Sudah bertahun-tahun Xuan Ming bertapa, maka suatu hari Miao Le Tian Zun (Biauw Lok Thian Cun – Hokkian) berniat mengujinya. Disuruhnya Xuan Ming turun gunung untuk membeli buah tao, Miao Le menyamar menjadi seorang wanita desa yang cantik dan mencegatnya sambil menawarkan buah persik dengan harga luar biasa mahalnya yaitu 1.000 tael mas sebuah. 

Tapi bila Xuan Ming mau memperistrikannya, maka buah persik tersebut diberikannya dengan gratis. Xuan Ming terpaksa mengabulkan permintaannya dengan syarat “Aku adalah seorang pertapa, dalam hidup ini memperistrimu adalah tidak mungkin, hanya pada penitisan yang akan datang aku bersedia mengawinimu”. Si wanita dengan tersenyum menjawab, 

“ Dalam penitisan yang akan datang tidaklah menjadi soal, yang penting adalah kesanggupanmu. Sekarang terimalah buah ini”. Tiba-tiba wanita itu lenyap dan Miao Le Tian Zun muncul di hadapannya dengan wajah gusar “Engkau menginginkan seorang wanita berarti kau masih terikat pada keduniawian, karena itu untuk mencapai kedewaan pada saat ini adalah mustahil, kau harus menitis kembali ke dunia”. Xuan Ming menangis menyesali perbuatan dan kecerebohannya.

Akhirnya dengan diantar oleh Miao Le, Xuan Ming menitis kembali lagi ke dunia negeri Jing Luo Guo (Ceng Lok Kok – Hokkian) sebagai putera raja yang bernama Xuan Yuan Tai Zi.

Ketika berusia 15 tahun, dalam suatu keramaian pada perayaan Yuan Xiao (Goan Siauw – Hokkian, Capgome), Xuan Yuan menjadi dingin hatinya melihat banyaknya kesengsaraan dan kekerasan di masyarakat. 

Dilihatnya orang berhantam karena berebut wanita, seorang penjambret dihajar oleh massa sampai babak belur, orang kaya dengan segala kemewahannya berpesta pora, sedang di jalan-jalan orang miskin mati kelaparan. Ini semua menggugah keinginnya untuk menjadi dewa dengan meninggalkan keduniawian, seperti pada penitisan yang lalu. 

Mendengar keinginannya ini raja sangat marah. Xuan Yuan dujebloskan dalam penjara. Pada saat ia dalam penjara itulah Miao Le Tian Zun datang menolongnya dan membawanya ke gunung Wu Dang Shan (Bu Ton San – Hokkian). 

Di sana ia melanjutkan tapanya untuk menjadi dewa. Berkali-kali ayahnya menyuruh orang untuk meminta dia pulang, tapi tekadnya tetap teguh, ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa. Setelah 20 tahun bertapa, Miao Le diam-diam menyuruh malaikat penguasa gunung Wu Dang, untuk mengujinya. 

Sang malaikat manyaru sebagai seorang wanita cantik yang mencoba dengan berbagai car untuk merayu Xuan Yuan. Xuan Yuan kehabisan akal untuk menolaknya, ia lalu bangkit dari meditasinya dan meninggalkan tempat itu. Di kaki gunung ia melihat seorang wanita tua mengasah sebaang besi di atas batu. 

Ketika Xuan Yuan bertanya apa maksudnya mengasah besi, nenek itu menjawab dia sedang membuat jarum untuk cucunya. Xuan Yuan termenung mendengar ucapan nenek, ia sadar akan makna yang terkandung dalamnya. Dengan teguhnya hati, besi batangan pun dapat digosok menjadi jarum. Xuan Yuan lalu kembali menjalankan tapanya dengan tekun, setelah berhasil mengatasi berbagai godaan. 

20 tahun kemudian Miao Le menjemputnya dan naik ke langit untuk bertemu dengan Yu Huang Shang Di (Giok Hong Sian Tee – Hokkian). Yu Huang lalu berfirman dan mengangkat Xuan Yuan menjadi dewa dengan gelar Xuan Tian Shang Di dan berkuasa di sebelah utara dan bertugas memerangi kejahatan serta menangkap siluman dan iblis yang mengacau dunia.

Selanjutnya dikisahkan Xuan Tian Shang Di turun ke bumi menakklukan berbagai siluman, antara lain siluman ular dan siluman kura-kura, yang kemudian menjadi pengikutnya. Disamping itu seorang tokoh dunia gelap Zhao Gong Ming (Tio Kong Bing – Hokkian) juga ditaklukkan dan menjadi pengawalnya, sebagai pembawa bendera berwarna hitam.

Dalam kisah ini oleh pengarang, kura-kura dan ular yang merupakan lambang Dewa Utara (Xuan Wu) sengaja dipersonofikasikan sebagai manusia untuk lebih menonjolkan Zhen Wu. Akhirnya kisah ini dihubungkan dengan sejarah dinasti Ming dimana diceritakan bagaiman Zhen Wu atau Xuan Tian Shang Di membantu Zhu Yuang Zhang mengalahkan kerajaan Yuan (Mongol).

Sehubungan dengan kura-kura dan ular ini, para pengusaha rakit bambu di Taiwan dan Hongkong, memuja Xuan Tian Shang Di, agar kura-kura dan ular di sungai-sungai tidak berani menimbulkan ombak dan gelombang yang mengancam usaha mereka. 

Kecuali di Taiwan dan Hongkong, pemujaan terhadap Xuan Tian ini juga menyebar di Asia Tenggara, terutama di Malaysia, Singapura dan Indonesia. Di Singapura kelenteng yang terkenal memuja Xuan Tian adalah Wak Hai Cheng Bio di Philip Street. Di Indonesia setiap kelenteng menyediakan altar untuknya.

Menurut cerita, kelenteng Xuan Tian Shang Di yang pertama di Indonesia adalah kelenteng Welahan, Jawa Tengah. Di Semarang sebagian besar kelenteng adalah tempat pemujaan untuknya. Sedangkan yang khusus memuja Xuan Tian Shang Di sebagai tuan rumah, adalah kelenteng Grajen dan Bugangan.

Disini dapat dilihat bahwa Xuan Tian Shang Di adalah dewa taoisme yang kepopulerannya sejajar dengan Guan Yin dan Guan Di (Kwan Tee – Kwan Kong – Hokkian).

Xuan Tian Shang Di adalah Zhen Wu Da Di ditampilkan sebagai seorang dewa yang memakai pakaian perang keemasan, tangan kanannya menghunus pedang penakluk iblis, dan dengan kedua kakinya yang tanpa sepatu, menginjak kura-kura dan ular. Wajahnya gagah berwibawa dihias dengan jenggot panjang dan rambutnya terurai ke belakang lepas, tidak diikat atau dikonde sebagai umumnya rambut pria pada jaman itu. Patung-patung Zhen Wu yang terdapat di dalam kelenteng-kelenteng di gunung Wu Dang Shan semuanya juga bergaya demikian.

Menurut cerita-cerita yang beredar di kalangan rakyat, wajah maupun bentuk tubuh patung Xuan Tian itu sesungguhnya adalah wajah Kaisar Yong Le dari dinasti Ming atau yang sering disebut sebagai Ming Cheng Zu (1403 – 1424). Sebab itu adalah sebuah pemeo yang mengatakan “Patung Zhen Wu, berwajah Yong Le” Menurut “ Catatan warta-warta dari Hubei”, patung Xuan Tian dan Kaisar Yong Le memang mempunyai kaitan yang erat. 

Seperti diketahui pada masa permulaan dinasti Ming, Zhu Di yang seringkali disebut sebagai pangeran Yan Wang yang berkedudukan di Beijing telah menggerakkan pasukan merebut tahta kerajaan yang pada waktu itu diduduki oleh keponakannya yaitu Kaisar Hui Di. 

Zhu Di kemudian lalu mengangkat dirinya sebagai kaisar ke 3 diansti Ming dengan gelar Cheng Zu dan tahun kerajaannya diganti menjadi Yong LE yang berarti “kegembiraan abadi”, sebab itu ia lajim disebut sebagai Kaisar Yong Le. Banyak menteri yang tidak menyetujui tindakan kaisar baru ini, mereka tidak puas tapi tak berani terang-terangan mengutarakan kejengkelannya. Umumnya mereka menganut Dao Jiao (agama Dao, Taoisme) dan memuja Xuan Tian Shang Di. Maka diam-diam mereka berdoa kepada sang dewa agar Kaisar Yong Le dihukum karena perbuatan makarnya.

Tentu saja, Kaisar Yong Le mengetahui kasak-kusuk di kalangan para menteri itu. Pada waktu itu memang pemujaan Xuan Tian Shang Di sangat berkembang. Kaisar memerintahkan pembangunan kelenteng secara besar-besaran di Wu Dang Shan, dan banyak patung Dewa itu dibuat untuk ditempatkan disana. 

Dalam hati sang Kaisar berpikir: Kamu sekalian mempercayai Dewa, aku akan membuat Dewa buat kalian, tak hanya membuat bahkan menjadikan diriku menjadi Dewa yang kalian sembah. Kalau sudah begitu aku tidak kuatir lagi kalian membangkang perintahku.” Dikumpulkannya tukang-tukang pahat kenamaan di seluruh negri dan diperintahkan membuat arca Xuan Tian Shang Di. Kepada mereka Kaisar berkata : Zhen Wu adalah seorang Maha dewa dari Kahyangan, wajahnya gagah dan berwibawa. Kalian harus berhasil menggambarkan secara tepat.”

Para tukang itu kebingungan mereka belum pernah melihat rupa Xuan Tian Shang Di, bagaimana dapat menggambarkan dengan tepat. Mereka mengerahlan semua kemampuan seninya untuk memahat, dan akhirnya terciptalah beberapa macam sosok Xuan Tian. Umumnya menggambarkan Dewa ini sebagai seorang pria yang tampan, dengan berbagai macam bentuk tubuhnya, ada yang tinggi, gagah, ada yang pendek kekar, berwajah serius, atau tersenyum ramah, dalam keadaan berdiri dan menghunus pedang atau duduk bersila dalam semedi.

Tanpa diduga, Kaisar tidak puas sama sekali dengan hasil pahatan mereka, bahkan menuduh mereka tidak sungguh-sungguh sehingga menjatuhkan citra sang Dewa. Mereka semua mengalami nasib buruk, ada yang dipenjara, dibuang bahkan ada juga yang dihukum pancung. Kemudian Kaisar mendengar kabar bahwa ada seorang pemahat ulung dari suku Korea yang namanya sangat termashur sampai ke manca negara. 

Pemahat itu biasanya disebut Guru Ji. Tanpa menunggu lebih lama, sang Kaisar memerintahkan agar sang pemahat dipanggil. Guru Ji dan para anggota kelaurganya paham bahwa memenuhi panggilan Kaisar berarti suatu kepergian yang belum tentu bisa pulang dengan selamat. Tapi firman kaisar tidak dapat ditolak, maka dengan diiringi ratapan sanak keluarganya ia berangkat ke Beijing memenuhi panggilan Kaisar Yong Le.

Dalam benaknya Guru Ji berpikir, : Kaisar membunuh para pemahat mungkin disebabkan karena mereka tidak dapat menduga secara tepat apa yang dikehendakinya. Akan kucoba menerka apa sesungguhnya apa yang dikehendaki Kaisar dalam pembuatan patung ini”. Begitulah dengan langkah yang tegap ia pergi menghadap Kaisar. 

Pada saat itu kebetulan sedang mandi, ketika mendengar Guru Ji datang menghadap ia lalu memerintahkan agar sang pemahat langsung menemui dia di kamar mandinya. Guru Ji lalu berlutut di hadapan Kaisar tanpa berani menengadahkan mukanya untuk memandang wajah sang Kaisar. 

Tapi dia berusaha untuk mengamati segala gerak gerik Kaisar dengan cermat. “Hamba belum pernah melihat wajah Maha dewa Zhen Wu yang berada di Kahyangan. Sedangkan manusia di bumi ini begitu banyak, maka sulit bagi hamba untuk melihat wajah siapa yang pantas untuk dijadikan model wajah Zhen Wu Da Di. Apa daya hamba”, demikian Guru Ji berkata kepada Kaisar. 

“Tolol”, Kaisar membentak sambil beberapa kali mengehentakkan kakinya, “Gunakan otakmu untuk berpikir.” Mendengar jawaban Kaisar, mendadak seberkas sinar terang terlintas dalam benak Guru Ji, :” Bukankah ia menghendaki aku memakai kakinya yang telanjang sebagai model.” Untuk lebih mempertegas dugaannya ia lalu berkata :” Kalau hamba sudah betul-betul memahami bentuk tubuh yang akan dipahat, barulah hamba berani memahat patung itu, tapi…”. Kaisar pura-pura seakan-akan tidak sengaja lalu memutus perkataan sang pemahat; “ Menengadahlah.” Kali ini nada suaranya berubah agak ramah.

Sekarang Guru Ji betul-betul telah paham Kaisar, nyalinya menjadi besar, ditengadahkannya kepalanya dan dilihatnya Kaisar berdiri di hadapannya. Wajahnya bundar, hidungnya besar, dan matanya agak menonjol karena habis mandi rambutnya terurai ke belakang, dan kakinya telanjang. Hati Guru Ji jelaskah sudah, tapi ia masih juga bertanya : “ Wajah Zhen Wu Da Di harus hamba buat bagaimana?”. Kaisar tidak menjawab, hamba meraba-raba kepalanya sambil menepuk-nepuk. 

Isyarat ini bagi Guru Ji sudah lebih dari cukup. Ia lalu keluar dari istana dan mulai membuat model patung Xuan Tian berdasarkan keadaan Kaisar Yong Le pada waktu habis mandi. Dan akhirnya sebuah patung perunggu yang beratnya 20.000 kati berhasil dibuat.

Begitu melihat hasil buatan Guru Ji, Kaisar tak henti-hentinya mengangguk dan memuji patung Zhen Wu yang satu ini sungguh-sungguh bagus dan sesuai dengan kehendaknya. Lalu Kaisar memotong sebagian jenggotnya dan dilekatkan di dagu patung itu. Sejak itulah Kaisar Yong Le sekaligus menjadi Kaisar di dunia dan “Dewa di langit”. Orang-orang tidak berani menentangnya lagi. Dan patung ini sampai sekarang masih ada di kelenteng Zi Xiao Gong di gunung Wu Dang. 

Para pematung lain kemudian menjadikan patung tersebut sebagai model patung Xuan Tian yang baku, sehingga patung-patung yang muncul kemudian berbentuk seperti itu. Patung Xuang Tian yang kita lihat di Welahan dan kelenteng Tay Kak Sie Semarang juga bergaya demikian, hanya oleh para pemuja sering ditambah mahkota dari kertas yang diganti tiap-tiap tahun.

Wu Dang Shan, gunung suci para penganut Daoisme, terletak di propinsi Hubei, Tiongkok tengah. Sejak jaman Dinasti Tang, kelenteng-kelenteng sudah mulai di dirikan di sana.tapi pembangunan besar-besaran adalah pada masa pemerintahan Kaisar Yong Le pada jaman Dinasti Ming. Tidak mengherankan karena Xuan Tian Shang Di diangkat sebagai Dewa pelindung kerajaan. 

Diantara kelenteng-kelanteng disana yang terkenal adalah Yu Xu Gong (Giok Hi Kiong - Hokkian) yang terletak di bagian barat laut puncak utama Wu Dang Shan, bangunannya bergaya istana Beijing. Lalu adalagi Wu Zhen Gong yang dibangun pada tahun Yong Le ke 15. Kelenteng ini terletak di kaki utara Wu Dang Shan. Di sini terdapat pemujaan dan patung Zhang San Feng (Thio Sam Hong – Hokkian) pendiri cabang persilatan Wu Dang (Bu Tong Pay – Hokkian).

Kelenteng Zi Xiao Gong terletak di puncak timur laut, bangunan inilah yang paling lengkap, dan merupakan pusat dari keseluruhan rangkaian tempat ibadah di gunung itu. Patung perunggu Zhen Wu Da Di hasil pahatan Guru Ji itu ditempatkan disini. 

Di kelenteng ini anda akan melihat juga lambang gunung Wu Dang Shan yaitu patung kura-kura dan ular. Patung logam itu menggambarkan seekor kura-kura sedang dililit erat-erat oleh seekor ular. Katanya sang ular bermaksud memaksa sang kura-kura memuntahkan semua isi perutnya.

Menurut kepercayaan, kura-kura itu berasal dari perut besar (maag) dan sang ular dari usus Zhen Wu, yang berubah rupa. Dikisahkan bahwa suatu ketika dalam samadhinya yang tanpa makan dan minum, Zhen Wu alias Xuan Tian merasakan usus dan lambungnya sedang bertengkar. Rupanya rasa lapar yang amat sangat menyebabkan kedua organ itu saling menyalahkan. Zhen Wu menyadari kalau hal ini dibiarkan dapat mempengaruhi ketentraman batinnya. 

Dalam kejengkelannya, ia lalu membelah perutnya dan mengeluarkan kedua anggota badan itu, lalu dilemparkan ke rerumputan di belakangnya, kemudian seperti tanpa terjadi sesuatu ia melanjutkan samadhinya.

Sang perut besar (lambung) dan usus karena tiap hari mendengarkan Zhen Wu membaca ayat-ayat suci Dao, lama kelamaan memiliki tenaga gaib juga. Keduanya lalu berubah menjadi kura-kura dan ular dan menyelinap turun gunung untuk memakan ternak, dan juga manusia. Zhen Wu yang telah menjadi dewa, sangat murka akan kejadian ini. 

Dengan pedang terhunus dan mengendarai awan ia turun gunung. Tebasan pedangnya dipunggung kura-kura meninggalkan bekas sampai sekarang. Sejak itu punggung kura-kura tampak guratan-guratan seperti bekas tebasan pedang. Dengan tali wasiat diikatnya leher sang ular, sehingga sejak itu leher ular menjadi lebih kecil dari tubuhnya.

Kura-kura dan ular setelah ditaklukkan, memperoleh pangkat “erjiang” yang berarti “dua panglima”, dan menjadi landasan tempat duduk Zhen Wu. Tapi sang kura-kura rupanya msih belum hilang watak silumannya. Hal ini diketahui oleh Zhen Wu, beliau lalu memerintah sang ular melilit tubuh kura-kura erat-erat, agar segala barang yang pernah ditelannya dimuntahkan kembali, dan supaya mengungkapkan segala kejahatan yang telah dilakukannya. Patung dari kura-kura dan ular ini sampai sekarang masih ada di ruang belakang kelenteng Zi Xiao Gong dan selanjutnya dijadikan logo yang melambangkan gunung Wu Dang Shan.

Masih ada satu peninggalan penting yang ada sangkut pautnya dengan Zhen Wu Da Di, yaitu sebuah sumur yang dinamakan Mo Zhen Jing (Sumur tempat mengasah jarum). Konon pada waktu Zhen Wu sedang melakukan tapa di gunung ini, hatinya terasa goyah, Ia lalu memutuskan untuk lari meninggalkan tempat itu. 

Sampai di tepi sumur ini ia melihat seorang wanita tua sedang mengasah alu besi. Zhen Wu merasa heran lalu menanyakan apa maksud nenek itu mengasah alu besi. Dengan tertawa si nenek berkata bahwa ia sedang mengasah alu untuk membuat jarum sulam. Mendengar jawaban ini Zhen Wu baru menyadari maksud yang terkandung dibalik perkataan sang nenek. 

Segera ia kembali ke atas gunung untuk melanjutkan tapanya. Nama “mo-zhen-jing” dengan demikian menjadi terkenal. Kini di dekat sumur itu dibangun rangon dan patung seorang nenek tua yang mengasah alu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dewa Bumi

Ringkasan DharmaDesana : Dewa Bumi

Oleh : Acarya Lian Qiao

Dewa Bumi merupakan dewa yang terdekat dengan kita,sehingga untuk memohon rejeki, dan hal lainnya mungkin saja lebih cepat dikabulkan. Sebenarnya untuk melakukan sembahyang dewa bumi, kita tidak perlu dikuanting/ abhiseka, karena tata cara sembahyang dewa bumi adalah jenis sembahyang umum. 

Tetapi kali ini Acarya akan memberitahukan tata cara sembahyang dewa bumi menurut versi tantrayana, dan setelah itu pada akhir sesi, Acarya akan memberikan abhiseka pemberkatan sadhana dewa bumi.

Dewa bumi/dewa tanah terdiri dari 5 macam : Dewa Pintu, Dewa Dapur, Dewa Tanah(penunggu rumah, Dewa sumur, dan Dewa Gunung/sungai/kali
Dewa Pintu bisa juga kita sebut Dewa Buni, tapi ada satu kisah pada jaman dahulu, di wilayah Cina, disetiap rumah besar terdiri dari beberapa kepala keluarga, dan ini artinya ada Dewa pintu utama yang menjaga pintu masuk dari rumah besar itu, dan juga ada Dewa pintu kecil yang menjaga pintu dari masing-masing kepala keluarga.

Dewa bumi mungkin adalah salah satu dari ke-5 macam Dewa bumi. Tapi yang kita maksudkan Dewa Bumi sekarang adalah Dewa penunggu rumah. Adapun Dewa bumi ini mungkin adalah roh dari leluhur kita, atau roh2 penunggu rumah terdahulu yang memiliki banyak jasa pahala kebajikan sehingga menjadi Dewa pada saat ini. 

Dewa tanah adalah penghuni di setiap rumah, mereka dapat membantu kehidupan sehari-hari kita seperti menjaga keharmonisan keluarga, menjaga sadhaka dalam melaksanakan sadhana sehari-hari, memajukan usaha bisnis, dan lainnya.

Adapun kekuatan dari para Dewa mempunyai keterbatasan, sehingga jika kita ingin memohon sesuatu harus yang wajar saja, jangan terlalu berlebihan. Untuk memohon sesuatu kepada Dewa bumi, kita perlu memberikan persembahan.

Persembahan tersebut dapat berupa makanan yang sudah dimasak, seperti daging (bisa daging ayam, babi, ikan), buah2an, sayur2an,air teh, arak, hio, dan sebagainya. Semua persembahan ini tergantung dari kemampuan materi sadhaka masing-masing. Jika mampu memberikan banyak persembahan boleh saja, tapi jika tidak mampu jangan dipaksakan, tidak apa-apa. Semua tergantung kemampuan materi kita.

Pada jaman kerajaan dahulu kala, tanggal baik untuk memberi persembahan dan memohon kepada dewa tanah adalah tanggal 1 dan 15 atau tanggal 2 dan 16 menurut penanggalan lunar. Waktu yang dilakukan antara tengah hari dan tengah malam.

Tata cara sembahyang kepada Dewa Bumi menurut versi tantrayana:
Sebelumnya jika kita memiliki altar Dewa bumi, kita bisa meletakkan persembahan itu didepan altarnya, atau jika kita tidak memiliki altar bisa meletakkan persembahan diatas sebuah meja persegi dan menghadap ke arah tungku dengan memunggungi pintu, atau boleh juga memunggungi pintu depan, menghadap ke bagian dalam rumah.

Dalam memberi persembahan, siapkan 5 macam sajian untuk persembahan, sajikan apa saja yang biasanya anda makan untuk makan malam. Daging ayam, itik, babi, beras, ikan, roti, sayur, sop, buah2an, arak/bir dan makanan penutup juga boleh.

Sebelum memulai sembahyang, hentakkan kaki kiri ke tanah sebanyak 3 kali. Ini dilakukan sebagai pertanda kita ingin mengetuk rumah Dewa bumi, agar beliau bisa menerima persembahan dari kita. Lalu gunakan hio 5 batang, dan tancapkan ke tempat hio ( 5 batang hio mewakili Utara, barat, timur, selatan, dan pusat). Bersikap anjali dan jangan lupa membaca mantra pembersihan, lalu japa mantra dewa bumi : Namo Sam Man to moh toh nam, om doh lo doh lo de weh, soha (7x)
Visualisasikan Dewa tanah lokal yang tampak berkecukupan makanan bewujud laki-laki tua sedang berdiri didepan untuk menerima persembahan, dengan mangkuk emas dan perak ditangan kirinya dan sebuah tongkat ditangan kanannya.

Dia datang menerima persembahan kita. Lipatgandakan persembahan hingga memenuhi jagat raya, persilahkan dewa tanah lokal menikmati arak dan makanan yang telah dipersiapkan dengan mudra anjali dan menjapa mantra persembahan. Setelah sembahyang dewa bumi sudah selesai (ditandai dengan dupa hampir habis), anda dapat memohon dewa bumi/dewa tanah untuk mendengarkan permintaan anda dan memohon bantuannya.

Jelaskan permintaan anda secara jelas dan mendetil. Dewa tanah memiliki kemampuan dapat menolong kita dalam membantu kita mengatasi kesulitan, tapi tentu saja permohonan yang kita buat haruslah positif dan sewajarnya. Visualisasikan Buddha Amitabha atau Maha Guru menyinari sinar merah ke arah dewa tanah lokal dan memberikan jasa baik dengan memanjatkan mantra Sukhavati Vyuha Dharani (Wang she Cou) sebanyak 3,5,7 atau 21 kali dan juga boleh menuangkan arak merah 3 gelas. Setiap selesai membaca wang she cou tuangkan arak ke tanah secara horizontal, lalu ulangi terus sampai ke-3 cangkir arak habis. Setelah dupa habis, barulah anda boleh menbersihkan altar.

Mungkin saja jika Dewa bumi senang dengan persembahan kita, dan sewaktu beliau sedang menikmati arak/ bir yang kita suguhkan , beliau menjadi mabuk dan meluluskan semua permintaan kita (canda acarya sambil tertawa). Tetapi tentu saja apa yang kita minta/mohon haruslah sewajarnya jangan sampai melewati batas dan keterlaluan, karena meski Dewa pun memiliki keterbatasan.

Bila dalam keadaan darurat (seperti diganggu orang, banyak masalah) kita ingin memohon kepada Dewa Bumi, kita dapat melakukan satu sadhana ritual khusus. Caranya : sediakan 5 buah persembahan (buah2an) 5 warna, lalu bakar hio, dan hio ditancapkan di 5 penjuru, lemparkan buah2an tadi ke 5 arah tersebut. Dan tentu saja sadhana ini agak mubazir, karena buah2an yang dilempar kita tidak bisa memakannya kembali (acarya pun tertawa kembali)

Adapun arti dari warna2 yang kita persembahan yang kita berikan antara lain :
- warna merah : untuk keharmonisan rumah tangga, jodoh, cinta kasih
- warna biru : untuk berbakti
- warna kuning : untuk kesejahteraan, agar dagangan laku, usaha laris dsb
- warna putih: untuk penyucian
- warna hitam : untuk penaklukan (abhicaruka)

Jika dalam keadaan sehari-hari persembahan kepada Dewa bumi pun dapat dilakukan(tanpa menggunakan mudra persembahan), cukup menyediakan 1 piring makanan, dan visualisasikan Dewa bumi menerima persembahan kita dengan tersenyum, yah anggap saja kita mempunyai tambahan 1 anggota keluarga lagi (acarya kembali berguyon).

Sebagai sadhaka yang rajin bersadhana, maka Dewa bumi pun akan mengetahui dan melindungi diri kita. Bahkan bisa saja sewaktu kita bersadhana, tingkatan Dewa bumi bisa melampaui tingkatan dari sadhaka tersebut (atau sebaliknya).

Karena sebagai Dewa, tingkatannya pasti akan lebih cepat mencapai pencerahan dibandingkan dengan umat biasa. Untuk itu persembahan kepada Dewa bumi perlu agar bisa membantunya menuju alam yang lebih baik lagi, dan membantu menolong sesama makhluk mencapai kebuddhaan.

Dewa bumi dapat pula kita daftarkan namanya pada upacara Api Homa agar dapat Dewa bumi tersebut dapat mendapatkan berkah dharma dan mungkin penyeberangan ke alam yang lebih tinggi lagi. Jika Dewa bumi mendapatkan kelahiran di alam yang lebih tinggi, maka jabatan Dewa bumi di lokasi tersebut akan digantikan oleh Dewa bumi yang lainnya, demikian seterusnya. 
Mudah2an dengan demikian, kita bersama2 dapat mencapai kebuddhaan seperti yang kita inginkan. 

Pada akhir sesi ada yang mengajukan pertanyaan mengenai Dewa bumi :

1. Cara sembahyang Dewa bumi sehari2 ?
Jawaban : Gunakan 5 batang dupa dan panjatkan mantra sukhavati Vyuha Dharani(3,5,7 atau 21 x) dan jangan lupa visualisasi Dewa Bumi diberkati oleh Buddha Amitabha atau Maha Guru dengan cahaya merah, seperti yang dijelaskan tadi.

2. Bagaimana dengan persembahan yang sudah disembahyangkan, apakah kita boleh memakannya? Ada yang bilang itu makanan itu sudah dimakan roh, dan tidak baik!
Jawaban: boleh saja kita memakannya, jika tidak sayang mubazir, kita cukup visualisasikan aha Guru atau amitabha Buddha menyinari dan memberikan pemberkatan (sinar merah) ke makanan itu tadi. Dan makanan tadi sudah boleh kita makan.

Demikianlah ringkasan Dharmadesana “Tu Ti Pak Kung’ yang disampaikan oleh Acarya Lian Qiao. 
OM MANI PADME HUM

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Angulimala


Pada tahun ke dua puluh setelah mendapat Peneragan Agung, Sang Buddha menaklukkan seorang penyamun ganas bernama Angulimala. Kisahnya adalah sebagai berikut :

Angulimala adalah anak seorang penasehat raja negara Kosala. Ayahnya bernama Bhaggava dan ibunya Mantani. Nama aslinya adalah Ahimsaka. 

Hari ia dilahirkan, semua senjata di seluruh negeri, termasuk yang ada di istana, mengeluarkan cahaya gemerlapan. Raja menjadi takut sekali dan keesokan harinya memanggil penasehatnya untuk ditanyakan tentang sebab mengapa semua senjata mengeluarkan cahaya.

Bhaggava menjawab, “Istriku baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki, Baginda.”
Raja Kosala bertanya, “Tetapi, mengapa senjata-senjata itu lalu mengeluarkan cahaya gemerlapan?”
Baginda, anakku itu kelak akan menjadi seorang penyamun, seorang penyamun yang luar biasa.”
Kembali Raja bertanya, “Apakah ia akan merampok seorang diri atau dengan berkawan?”
Bhaggava menjawab, “ Ia akan bekerja seorang diri, Baginda.”
Raja kemudian berkata, “Kalau begitu, kenapa kita tidak sekarang saja membunuhnya?”
Bhaggava menjawab, “Karena ia akan bekerja seorang diri, maka kita akan dengan mudah dapat menangkapnya.”

Ketika Ahimsaka mencapai umur untuk bersekolah, maka ayahnya mengirimnya ke sebuah sekolah di Takkasila. Ahimsaka merupakan murid yang terkuat, terpintar dan juga yang terpatuh dari semua murid di sekolah tersebut.
Karena itu anak-anak yang lain merasa iri hati kepada Ahimsaka.
Mereka sedikit demi sedikit menghasut guru mereka, sehingga akhirnya guru tersebut juga membenci Ahimsaka.

Setelah selesai belajar di sekolah tersebut, gurunya memanggil Ahimsaka dan berkata, “Sekarang engkau sudah tamat belajar di sekolah ini, tetapi sebelum engkau pulang, terlebih dahulu engkau harus membayar uang sekolah kepadaku.”
Berapakah yang harus kubayar, Guru?”
Engkau tidak usah membayar dengan uang. Cukup, jika engkau memberiku seribu buah jari tangan kanan manusia,” jawab gurunya.

Meskipun hal ini sangat sulit sekali, namun sebagai murid yang sangat patuh, Ahimsaka berjanji kepada gurunya untuk melaksanakan apa yang diminta oleh gurunya. Sebelum pergi, gurunya kembali berpesan, “Ingat, jangan membawa dua buah jari tangan dari orang yang sama.”

Sampai hari itu Ahimsaka belum pernah menyakiti orang lain dan karena itu ia tidak tahu bagaimana harus memotong jari orang. Karena ingin mematuhi perintah gurunya, maka Ahimsaka membawa pedangnya dan pergi ke hutan Jalini di negara Kosala.

 Di hutan itu ia mencegat para pelancong yang lewat, membunuhnya dan mengambil jari tangan kanannya. Sesudah itu ia membuat kalung dari jari-jari tersebut dan menggantung kalung itu di lehernya. Karena kalung dari jari-jari tersebut, ia kemudian mendapat nama baru sebagai Angulimala (Anguli = jari, mala = kalung).

Sekarang Angulimala menjadi seorang pembunuh yang kejam yang ditakuti. Kalau ingin melewati hutan Jalini, para pedagang atau pelancong jalan berkelompok, berdua, berempat, bersepuluh, berdua puluh, dan bertiga puluh. Tetapi, begitu mereka mendengar, “Aku Angulima, jangan lari!” Mereka menggigil dan gemetaran, dan tidak dapat melarikan diri lagi. 

Dengan mudah Angulimala membunuh orang-orang tersebut dan memotong jari tangan kanannya. Karena itu tidak ada lagi orang yang berani lewat hutan tersebut.
Angulimala kemudian memindahkan tempat kerjanya dan di tempat yang baru ia kembali mencegat dan membunuh orang yang lewat.

Karena itu, Raja Kosala mempersiapkan tentara yang besar untuk menangkap Angulimala. Ibunya, Mantani, mendengar tentang persiapan yang dilakukan Raja Kosala, ia berkata kepada suaminya, “Anak kita yang tercinta sekarang telah menjadi seorang pembunuh. Sekarang Raja sedang membuat persiapan untuk menangkap dan membunuhnya. Apakah kamu tidak dapat pergi menemui anak kita dan membujuknya supaya berhenti membunuh?”

Istriku tercinta, anak itu sekarang sudah terlalu ganas. Ia mungkin sudah berubah seluruhnya dan kalau aku pergi menemuinya, mungkin aku pun akan dibunuhnya. Aku tidak mau mati percuma.”

Tetapi ibunya adalah seorang wanita yang halus budi pekertinya dan mempunyai hati yang baik. Apalagi ia mencintai anaknya lebih dari dirinya sendiri. Ia pikir, “Aku harus pergi seorang diri ke hutan untuk menyelamatkan anakku.” Kemudian ia berjalan pergi ke hutan dengan membawa bekal makanan seperlunya.

Ketika itu Angulimala sudah membunuh 999 orang. Berbulan-bulan lamanya ia berada di hutan tanpa memperoleh cukup makanan, tidur, mandi, dan pakaian yang bersih. Badannya sudah berbau busuk. Ia benci sekali dengan hidup seperti itu. Tetapi bagaimana pun juga, ia masih harus membunuh seorang lagi untuk memenuhi permintaan gurunya berupa seribu buah jari tangan kanan manusia.

Ia berpikir, “Sekarang, meskipun ibuku sendiri yang datang, aku akan membunuhnya, memotong jari tangannya untuk mencukupi jumlah seribu yang diminta guruku.”
Pagi hari itu, sebagaimana biasa, Sang Buddha melihat ke seluruh penjuru dunia untuk mencari orang yang mungkin dapat ditolong-Nya dalam bidang kerohanian. Ketika itu Sang Buddha melihat Angulimala, yang meskipun sudah jemu dengan perbuatan membunuh dan ingin kembali menjadi orang yang baik, masih kekurangan satu orang lagi yang akan dijadikan korban. Dan korban terakhir ini justru adalah ibunya sendiri.

Karena merasa kasihan, Sang Buddha lalu bertekad untuk menolong Angulimala, ibunya dan juga khalayak ramai. Karena itu, dengan membawa mangkuk-Nya Sang Buddha berjalan menuju ke hutan tempat Angulimala bersembunyi menunggu mangsanya yang terakhir.

Penduduk desa yang melihat Sang Buddha berjalan menuju hutan, berusaha mencegah-Nya dengan mengatakan,
Bhikkhu, sebaiknya Anda jangan pergi ke hutan itu. Di sana bersembunyi seorang penyamun yang bernama Angulimala. Ia telah membunuh ratusan orang. Ia adalah orang yang kejam, buas, dan tidak berhati. Ia juga pasti akan membunuh Anda. Banyak orang yang sudah meninggalkan rumah dan desanya, sedangkan kami sendiri hari ini juga akan meninggalkan tempat ini, sebab siapa tahu mungkin saja hari ini ia akan datang ke tempat ini. Karena itu, sebaiknya Anda jangan berjalan kesana.

Kembalilah sekarang juga ke tempat dari mana Anda datang.”
Mereka menasehati Sang Buddha sampai tiga kali. Tetapi Sang Buddha hanya tersenyum, mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan-Nya memasuki hutan.

Ketika itu ibu Angulimala sudah terlebih dahulu memasuki hutan. Angulimala melihat ibunya datang dan berpikir, “Alangkah kasihannya wanita ini. Ia datang seorang diri. Aku memang kasihan kepadanya, tetapi apa yang dapat aku lakukan? Aku harus memegang janjiku dan membunuhnya.”

Ia menghunus pedangnya dan berlari mendekati ibunya. Tiba-tiba Sang Buddha berdiri di antara Angulimala dan ibunya. Angulimala berpikir, “Baik juga pertapa ini berdiri di depan ibuku. Dengan demikian aku tidak usah membunuh ibuku. Aku tidak akan mengganggunya, tetapi membunuh pertapa ini dan memotong jari tangannya.”

Dengan pedang terhunus, ia berlari mendekati Sang Buddha. Sang Buddha berjalan saja dengan tenang. Angulimala berlari-lari untuk menyergap dan membunuh Sang Buddha, tetapi meskipun badannya penuh dengan keringat ia tetap tak dapat menyentuh badan Sang Buddha yang sedang berjalan dengan tenang. Angulimala kemudian menjadi letih, sehingga semua sendi-sendinya merasa sakit sekali dan tidak kuat lagi untuk berlari.

Ia berpikir, “Tidak pernah aku seletih ini, meskipun dulu aku berlari-lari menangkap gajah, kuda, kereta perang, rusa atau binatang lainnya. Tetapi sekarang, sungguh mengherankan. Aneh sekali aku tak dapat mengejar pertapa ini.”
Kemudian ia berteriak, “Hai berhenti, berhenti Bhikkhu!”

Sang Buddha menjawab, “Aku berhenti, Angulimala! Tetapi, apakah engkau sendiri berhenti?”
Angulimala tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Sang Buddha dan berpikir, “Seorang bhikkhu tidak boleh bohong. Bhikkhu ini, meskipun berjalan lebih cepat dari aku, mengatakan bahwa ia berhenti. Aku sekarang memang sangat letih. Tentu ada maksud tertentu dalam ucapan tersebut.”

Kemudian ia bertanya kepada Sang Buddha, “Bagaimana Anda mengatakan berhenti, padahal Anda berlari lebih cepat dari Aku?”

Sang Buddha mengucapkan syair seperti di bawah ini :

Sebagaimana biasa, Angulimala, Aku berhenti,
Karena Aku berbelas kasihan terhadap semua makhluk hidup,
Tetapi kamu tidak mempunyai belas kasihan terhadap makhluk hidup,
Karena itu Aku berhenti dan kamu tidak berhenti.”


Angulimala rupanya sangat terkesan dengan syair yang diucapkan Sang Buddha. Ia membuang pedangnya dan berlutut di hadapan Sang Buddha.
Sang Buddha memberi berkah dan kemudian mengajaknya pergi ke vihara. Di vihara ia ditahbiskan menjadi bhikkhu. Ibu Angulimala yang menyaksikan seluruh peristiwa ini dari dekat, merasa kagum sekali kepada Sang Buddha, yang dalam waktu demikian singkat dapat menaklukkan Angulimala dan mengubahnya menjadi orang yang baik.

Raja Kosala, sebelum memasuki hutan untuk menangkap Angulimala, terlebih dulu datang mengunjungi Sang Buddha untuk mohon restu Beliau. Ia datang berkunjung dengan membawa lima ratus orang prajurit berkuda.

Sang Buddha bertanya, “Oh, Baginda Yang Agung, apakah Baginda mendapat kesukaran? Apakah Raja Bimbisara menyatakan perang kepada Anda atau Pangeran dari Licchavi atau mungkin dari kerajaaan lain?”

Bukan, Yang Mulia. Ada seorang penyamun yang ganas sekali di kerajaanku. Namanya Angulimala. Aku hendak pergi menangkapnya,” jawab Raja Kosala.

Sang Buddha lalu berkata, “Oh, Baginda Yang Agung. Umpamanya Baginda melihat Angulimala sekarang sudah bercukur gundul, memakai jubah kuning, meninggalkan kehidupan sebagai seorang penyamun dan berhenti membunuh, apakah yang Baginda akan lakukan?”
Raja Kosala menjawab, “Kalau demikian halnya, aku akan berlutut di hadapannya.”

Kemudian Sang Buddha memanggil Angulimala untuk keluar. Ketika Angulimala memasuki ruangan, semua prajurit raja melarikan diri, tetapi dicegah oleh Sang Buddha. Setelah itu Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma.

Suatu hari ketika sedang mengumpulkan makanan, Angulimala diserang oleh orang-orang yang sedang berkelahi. Sang Buddha kemudian memberitahukan Angulimala agar jangan mempunyai rasa dendam dan harus menganggap kejadian ini sebagai hukuman atas kejahatan yang pernah ia lakukan. Setelah berlatih dengan tekun, Angulimala kemudian mencapai tingkat Arahat.

Dikisahkan sewaktu Angulimala sudah mencapai tingkat Arahat, ia mendengar seorang wanita sedang merintih-rintih kesakitan waktu hendak bersalin. Hal ini menggugah hatinya, sehingga ia berkeinginan menolong wanita tersebut. 

Sewaktu ia menceritakan peristiwa tersebut kepada Sang Buddha dan menanyakan cara untuk menolong penderitaan tersebut, Sang Buddha memberinya petunjuk untuk memberi wanita itu air, setelah terlebih dahulu dibacakan kalimat-kaimat. :

Yatoham bhagini ariyaya,
Jatiya jato
Nabhijanami sancicca
Panam jivita voropeta
Tena saccena sotthi te
Hotu sotthi gabbhassa.”

Yang berarti :

Saudari, sejak dilahirkan sebagai seorang Ariya
Aku tidak ingat dengan sengaja
Membunuh suatu makhluk hidup
Dengan pernyataan yang benar ini, semoga Anda
Dan bayi dalam kandungan selamat.”
Dan benar saja, setelah diberi air tersebut, wanita itu segera bersalin dengan selamat. Sampai hari ini kalimat-kalimat tersebut dikenal sebagai Angulimala-sutta dan dipakai untuk membuat air guna memudahkan persalinan.

Penaklukan Angulimala sering kali dicatat sebagai satu dari sekian banyak perbuatan Sang Buddha yang menolong manusia karena rasa belas kasih yang sangat besar terhadap umat manusia.
Kisah ini pun dapat dipakai sebagai contoh untuk membuktikan bahwa kamma (perbuatan) baik yang orang lakukan dapat memusnahkan kamma buruk yang pernah ia lakukan. Demikianlah kisah mengenai Angulimala.

Follow : @SunGoKong72

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dewi Jiu Tian Xuan Nu


Kiu Thian Hian Li atau Jiu Tian Xuan Nü sering disebut juga sebagai Hian Li Nio Nio (Xuan Nü Niang Niang) yang merupakan salah satu dewi Tao yang sangat tinggi kedudukannya.

Seperti yang sudah umat TAO ketahui, Jiu Tian Xuan Nu ( 九天玄女 ) merupakan salah satu Dewi Besar TAO. Jiu Tian Xuan adalah Dewi yang sering membantu pahlawan-pahlawan.

Konon, cerita pada jaman raja satria Huang Ti yang pernah mengajarkan rakyat menanam palawija. Sebelum Huang Ti menyatukan negara, Beliau pernah perang dasyat melawan Je Yu. Je Yu itu adalah sebangsa hewan yang aneh, badannya merupakan binatang tapi dia memakai bahasa manusia, juga makan batu dan pasir untuk hidup. Je Yu ini biasa disebut badan kuningan kepala besi.

Pada waktu perang di daerah Juk Luk, Je Yu ini membuat kabut besar yang menyebabkan tentara-tentara Huang Ti menjadi kehilangan arah.
Tetapi untungnya para anak buah itu menciptakan kereta kompas. Dengan kereta tersebut, mereka baru bisa lolos dari kepungan kabut tadi.

Sedang pusing dengan taktik perang, malamnya Huang Ti bermimpi bertemu dengan Dewi SI WANG MU dan berkata padanya: "Saya akan mengirimkan utusan untuk membantu kamu, kamu akan menang perang". Lalu Huang Ti membuat altar dan berdoa / sembahyang tiga hari tiga malam. Hasilnya, nampaklah Jiu Tian Xuan Nu memberinya Kitab Suci, Pusaka, Buku Perang dan lain-lainnya; hingga Huang Ti dapat mengalahkan Je Yu dan dapat menyatukan negara.

Waktu itu, yang Huang Ti dapatkan adalah Buku Suci HUANG TI YIN FU CING yang dihargai oleh generasi selanjutnya.

Konon, Jiu Tian Xuan Nu pernah mambantu Sung Ciang. Sung Ciang ini merupakan Ketua daerah Liang San Be yang sering membantu orang-orang miskin yang kekurangan.

Dalam cerita buku "SUI HU JUAN", pada waktu Sung Ciang dalam perjalanan menuju Liang San Be, dia dikejar-kejar oleh musuh. Lalu dia bersembunyi di dalam sebuah kuil, ternyata dia diketahui oleh musuhnya, kelihatan maut sudah menunggu. Namun, pada saat detik-detik bahaya, di belakang altar dalam kuil tersebut timbul gumpalan awan hitam dan meniupkan seuntai angin keras yang dingin. Musuh yang mengejar ketakutan melihat keadaan aneh mendadak itu dan lari tunggang langgang.

Tidak lama kemudian, tampak dua anak perempuan berbaju hijau di hadapan Sung Ciang dan mengajaknya pergi untuk menemui Seorang Dewi. Dewi tersebut adalah Jiu Tian Xuan Nu. Kemudian, Sung Ciang diajak makan kurma dari DIAN dan minum arak yang harum. Jiu Tian Xuan Nu juga berkata padanya: "Saya akan memberitahu kamu tiga jilid Buku Langit, kamu harus bisa menjalankan TAO dengan baik, jadi orang harus jujur, setia kawan, setia pada negara, yang jelek dan yang sesat dikikis semua dan dikembalikan pada kebenaran". 

Dewi Jiu Tian Xuan Nu juga berpesan bahwa buku-buku itu tidak boleh diperlihatkan pada orang lain, sesudah mantap, bakarlah buku-buku tersebut. Dewi juga menurunkan empat kata-kata langit yang cocok menjadi ramalan hidup Sung Ciang di kemudian hari.

Sesudah kejadian itu, Sung Ciang masih pernah bertemu lagi dengan Dewi Jiu Tian Xuan Nu, yaitu pada waktu dia jadi Jendral Dinasti Sung yang sedang perang sengit dengan tentara-tentara negeri Liaw. Dewi Jiu Tian Xuan Nu mangajarkan tehnik perang yang kongkrit.

Dewi Jiu Tian Xuan Nu selalu mengulurkan tangan waktu raja kesatria dan pahlawan-pahlawan sedang mengalami kesulitan, sehingga boleh dikata sebagai "DEWI MEMBANTU".

Selain itu Dewi Jiu Tian Xuan Nu juga mengajarkan cara-cara perang yang kongkrit. Oleh karena itu, ada orang yang menganggap Dewi Jiu Tian Xuan Nu sebagai "DEWI PERANG".


Dalam legenda Tiongkok kuno disebutkan bahwa tokoh Kiu Thian Hian Li bernama Nü Wa. Ia dipercaya sebagai dewi yang menciptakan manusia dari tanah liat dan mengatur sistem perkawinannya. Salah satu legenda yang terkenal dari Nü Wa adalah ‘Nü Wa menambal langit’.

Diceritakan bahwa suatu ketika pada jaman purba, terjadi pertempuran antara Dewa Air ( Gong Gong) dan Dewa Api ( Zhu Rong). Pertempuran ini mengakibatkan patahnya salah satu tiang penyangga langit, sehingga air bah membanjiri Shen Zhou ( sebutan bagi Tiongkok kuno), dan api membakar hutan belukar. Malapetaka ini membuat hati Nü Wa menjadi sedih. Ia lalu melebur batu lima warna untuk menambal langit yang bocor, dan mengganjal tiang yang patah dengan kaki kura-kura raksasa. Api di hutan dipadamkannya, dan air bah disapu kembali ke laut.

Karena legenda inilah maka para usahawan peleburan emas dan perak, pembuatan payung, pemintalan kapas dan pembuatan minyak wangi, kemudian menjadikannya sebagai dewi pelindung usaha mereka. Selain itu, Nü Wa juga diceritakan membuat semacam serunai (alat musik tiup) yang disebut Sheng Huang, untuk menaklukkan roh-roh jahat, sehingga ia juga dianggap sebagai dewi pelindung perusahaan alat-alat musik.

Jiu Thian Hian Li umumnya ditampilkan sebagai sosok seorang gadis cantik dengan satu tangan memegang kebutan ( hud tim) dan tangan lainnya memegang sehelai daun besar yang berisi sembilan buah tho.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS